Terima Kasih Anda telah Mengunjungi Blog Gudang Ilmu Pengetahuan, semoga bermanfaat bagi kita semua

Juara 1 LCC PAI

KKG PAI Winong berhasil merebut juara 1 LCC PAI Tingkat Kabupaten Pati

Rapat Koordinasi

Skenario Terbaru Masuk Sekolah : Bukan Juli, tapi Awal 2021

GTK SDN Guyangan dan Korwilcam Winong

Pembelajaran di masa pandemi covid coronavirus-19, bersama kita bisa

Coronavirus 19

Menanti Keberlangsungan Pendidikan di Tengah Pandemi Covid-19

Tampilkan postingan dengan label Informasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Informasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 11 Juni 2020

Menuju Normal Baru, Jokowi: Kita Bukan Menyerah Tapi Beradptasi | tvOne



Jakarta, tvOnenews.com - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali memberikan pengarahan terkini tentang persiapan indonesia menuju tatanan baru (normal) saat pandemi corona (COVID-19) yang sudah terlewati sekitar tiga bulanan kemarin. Saat ini Jokowi meminta agar semua tahapan harus dihitung berdasarkan data dan fakta yang terjadi di lapangan.

Kamis, 04 Juni 2020

Dunia Pertanian



Pertanian organik

Sebuah tanda di luar kebun apel bagian organik di Pateros, Washington yang mengingatkan pekerja kebun untuk tidak menyemprotkan pestisida

Pertanian sayuran organik di Capay, California.


Pertanian organik adalah sistem budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan bahan kimia sintetis.[1] Beberapa tanaman Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dengan teknik tersebut adalah padi, hortikultura yang meliputi tanaman sayur, buah, bunga, dan tanaman obat (contohnya: brokoli, kubis merah, jeruk, dll.), tanaman perkebunan (kopi, teh, kelapa, dll.), dan rempah-rempah.[1] Pengolahan pertanian organik didasarkan pada prinsip kesehatan, ekologi, keadilan, dan perlindungan.[2] Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan dalam pertanian organik adalah kegiatan pertanian harus memperhatikan kelestarian dan peningkatan kesehatan tanah, tanaman, hewan, bumi, dan manusia sebagai satu kesatuan karena semua komponen tersebut saling berhubungan dan tidak terpisahkan.[2] Pertanian organik juga harus didasarkan pada siklus dan sistem ekologi kehidupan.[2] Pertanian organik juga harus memperhatikan keadilan baik antarmanusia maupun dengan makhluk hidup lain di lingkungan.[2] Untuk mencapai pertanian organik yang baik perlu dilakukan pengelolaan yang berhati-hati dan bertanggungjawab melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia baik pada masa kini maupun pada masa depan.[2]


Pertanian tradisional dalam berbagai bentuk, yang telah dilakukan sejak ribuan tahun di seluruh dunia, merupakan pertanian organik yang tidak menggunakan bahan kimia sintetik. Pertanian dengan memanfaatkan ekologi hutan (kebun hutan, forest gardening) merupakan salah satu sistem produksi pangan pada masa prasejarah yang dipercayai merupakan pemanfaatan ekosistem pertanian yang pertama.[3]


Pupuk sintetis telah dibuat pada abad ke 18, berupa superfosfat. Lalu pupuk berbahan dasar amonia mulai diproduksi secara massal ketika proses Haber dikembangkan semasa Perang Dunia I. Pupuk ini murah, bernutrisi, dan mudah ditransportasikan dalam bentuk curah. Perkembangan juga terjadi pada pestisida kimia pada tahun 1940an, yang memicu penggunaan bahan kimia pertanian secara besar-besaran di seluruh dunia.[4] Namun sistem pertanian baru yang mulai berkembang ini membawa dampak serius secara jangka panjang pada pemadatan tanah, erosi, penurunan kesuburan tanah secara keseluruhan, juga dampak kesehatan pada manusia akibat bahan kimia beracun yang masuk ke bahan pangan.[5]:10
Para pakar biologi tanah mulai mengembangkan teori mengenai bagaimana ilmu biologi dapat digunakan pada pertanian untuk menanggulangi dampak negatif bahan kimia pertanian tanpa mengurangi hasil produksi pertanian. Biodinamika biologi berkembang pada tahun 1920an dan menjadi versi awal dari pertanian organik yang dikenal sekarang.[6][7][8]:[9][10][11][12] Sistem ini berdasarkan filosofi antroposofi dari Rudolf Steiner.[8]:17–19


Pada tahun 1930an dan awal 1940an, pakar botani terkemuka Sir Albert Howard dan istrinya Gabriel Howard mengembangkan pertanian organik. Howard terinspirasi dari pengalaman mereka mengenai metode pertanian tradisional di India, pengetahuan mereka mengenai biodinamika, dan latar belakang pendidikan mereka.[6] Sir Albert Howard dapat dikatakan sebagai "bapak pertanian organik" karena ia yang pertama kali menerapkan prinsip ilmiah pada berbagai metode pertanian tradisional dan alami.[13]:45


Meningkatnya kesadaran lingkungan secara umum pada populasi manusia pada masa modern telah mengubah gerakan organik yang awalnya dikendalikan oleh suplai, kini dikendalikan oleh permintaan pasar. Harga yang tinggi dan subsidi dari pemerintah menarik perhatian petani. Di negara berkembang, berbagai produsen pertanian yang bekerja dengan prinsip tradisional dapat dikatakan setara dengan pertanian organik namun tidak bersertifikat dan tidak mengikuti perkembangan ilmiah dalam pertanian organik. Sehingga beberapa petani tradisional dapat berpindah menjadi petani organik dengan mudah, yang terdorong oleh alasan ekonomi.[14]


Pertanian organik mengkombinasikan pengetahuan ilmiah mengenai ekologi dan teknologi modern mengenai praktik pertanian tradisional berdasarkan proses biologis yang terjadi secara alami. Metode pertanian organik dipelajari di dalam bidang ekologi pertanian. Pertanian konvensional menggunakan pestisida dan pupuk sintetik, sedangkan pertanian organik membatasinya dengan hanya menggunakan pestisida dan pupuk alami. Prinsip metode pertanian organik mencakup rotasi tanaman, pupuk hijau/kompos, pengendalian hama biologis, dan pengolahan tanah secara mekanis. Pertanian organik memanfaatkan proses alami di dalam lingkungan untuk mendukung produktivitas pertanian, seperti pemanfaatan legum untuk mengikat nitrogen ke dalam tanah, memanfaatkan predator untuk menaggulangi hama, rotasi tanaman untuk mengembalikan kondisi tanah dan mencegah penumpukan hama, penggunaan mulsa untuk mengendalikan hama dan penyakit, dan pemanfaatan bahan alami, termasuk mineral bahan tambang yang tidak diproses atau diproses secara minimal, sebagai pupuk, pestisida, dan pengkondisian tanah.[15] Tanaman yang lebih unggul dan tangguh dikembangkan melalui pemuliaan tanaman dan tidak dimodifikasi menggunakan rekayasa genetika.
Keanekaragaman hayati[sunting | sunting sumber]


Tingginya keanekaragaman tanaman pertanian adalah salah satu penciri pertanian organik. Pertanian konvensional fokus pada produksi massal hasil pertanian tunggal di lahan, yang disebut dengan monokultur. Dalam ekologi pertanian diketahui bahwa polikultur (penanaman berbagai jenis tanaman pada satu ahan) lebih menguntungkan dan lebih sering diterapkan di pertanian organik.[16] Penanaman berbagai jenis sayuran mendukung berbagai jenis serangga yang bersifat menguntungkan, mikroorganisme tanah, dan faktor lainnya yang menambah kesehatan lahan pertanian. Keanekaragaman tanaman pertanian membantu lingkungan untuk mempertahankan suatu spesies yang dekat dengan lahan pertanian agar tidak punah.[17]
Pengelolaan tanah[sunting | sunting sumber]


Pertanian organik bergantung sepenuhnya pada dekomposisi bahan organik tanah, menggunakan berbagai teknik seperti pupuk hijau dan kompos untuk menggantikan nutrisi yang hilang dari tanah oleh tanaman pertanian sebelumnya. Proses biologis ini dikendalikan oleh berbagai mikroorganisme seperti mikoriza yang memungkinkan terjadinya produksi nutrisi secara alami di dalam tanah sepanjang musim tanam. Pertanian organik mendayagunakan berbagai metode untuk meningkatkan kesuburan tanah, termasuk rotasi tanaman, pemanfaatan tanaman penutup, pengolahan tanah tereduksi, dan penerapan kompos. Dengan mengurangi pengolahan tanah, maka tanah tidak dibalik dan tidak terpapar oleh udara. Hal ini berarti nutrisi yang bersifat mudah menguap seperti nitrogen dan karbon semakin sedikit yang menghilang.


Tumbuhan membutuhkan berbagai nutrisi seperti nitrogen, fosfor, dan nutrisi mikro lainnya serta hubungan simbiosis dengan fungi dan organisme lainnya untuk berkembang dengan baik. Sinkronisasi diperlukan agar tumbuhan mendapatkan nitrogen yang cukup pada waktu yang tepat. Hal ini menjadi salah satu tantangan di dalam pertanian organik.[18] Residu tanaman dapat dikembalikan ke tanah sehingga membusuk dan memberikan nutrisi bagi tanah.[18] Dalam banyak kasus, pengaturan pH diperlukan dengan menggunakan kapur pertanian dan sulfur.[19]:43

Lahan usaha tani yang tidak memiliki usaha peternakan di dalamnya mungkin akan lebih sulit dalam mengembalikan kesuburan tanah dan membutuhkan input kotoran dari luar untuk digunakan sebagai sumber nitrogen yang baik. Namun nitrogen juga dapat diberikan dengan menggunakan legum sebagai tanaman penutup tanah.[18]


Penelitian dalam ilmu biologi pada tanah dan mikroorganisme yang hidup di dalamnya telah membuktikan manfaat bagi pertanian organik. Berbagai jenis bakteri dan fungi memecah bahan kimia, residu tanaman, dan kotoran hewan menjadi nutrisi yang dapat diserap oleh tumbuhan, sehingga tanaman pertanian menjadi produktif.[20][21]
Pengelolaan gulma[sunting | sunting sumber]


Pengelolaan gulma secara organik bersifat menekan, bukan memberantas gulma, dengan meningkatkan kompetisi dan mendayagunakan sifat fitotoksik tanaman.[22] Pertanian organik mengintegrasikan strategi budaya, biologi, mekanis, fisik, dan kimiawi untuk mengelola gulma tanpa menggunakan herbisida sintetik.


Berbagai standar organik membutuhkan rotasi tanaman dari tanaman semusim,[23] yang berarti satu jenis tanaman tidak bisa ditumbuhkan di lokasi yang sama tanpa tumbuhan antara yang berbeda jenisnya. Rotasi tanaman secara organik mencakup tanaman penutup yang menekan pertumbuhan gulma dan tanaman dengan siklus hidup yang tidak sama untuk menekan pertumbuhan gulma yang hanya menyerang jenis tanaman tertentu.[22] Berbagai penelitian dikerjakan untuk mengembangkan metode organik untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme yang secara alami menekan pertumbuhan atau perkecambahan gulma.[24] Metode lainnya yaitu meningkatkan tingkat kompetisi tanaman pertanian untuk menekan pertumbuhan gulma dengan berbagai cara seperti mengatur tingkat kepadatan penanaman, mengatur jumlah varietas tanaman yang ditanam, dan mengatur periode penanaman.[22]


Pengendalian gulma secara mekanis dan fisik dapat dilakukan dengan:[25]
Pengolahan tanah - membalik tanah di atara tanaman untuk menempatkan residu tanaman dan gulma ke dalam tanah.
Memberikan panas ke tanah
Pemberian mulsa untuk menghalangi pertumbuhan gulma (lihat plastikultura)[26]


Namun metode pengolahan tanah dikritik sebagian kalangan karena dapat menyebabkan erosi.[27][28] FAO dan berbagai organisasi mempromosikan pendekatan pertanian tanpa pengolahan tanah (no till farming) dan menekankan pada rotasi tanaman.[28][29] Sebuah studi menunjukan bahwa rotasi tanaman dan pemanfaatan tanaman penutup tanah mampu mengurangi erosi tanah, mengendalikan hama, dan menekan penggunaan pestisida secara signifikan.[30] Beberapa bahan kimia yang tersedia secara alami dapat digunakan sebagai herbisida (bioherbisida), seperti asam asetat, tepung gluten jagung, dan minyak atsiri. Bioherbisida yang berbasis fungi patogen yang menjadi parasit bagi gulma, juga telah dikembangkan.[25]


Gulma juga dapat dikendalikan dengan memanfaatkan penggembalaan hewan di atas lahan pertanian. Angsa telah dipelihara secara jelajah bebas di atas lahan kapas, strawberry, tembakau, dan jagung untuk menekan pertumbuhan gulma.[31] Petani sawah di berbagai belahan dunia juga memelihara bebek dan ikan di sawah untuk memakan gulma dan serangga.[32]
Hewan ternak[sunting | sunting sumber]


Usaha pemeliharaan hewan ternak yang menghasilkan daging, susu, dan telur secara organik dapat menjadi pelengkap bagi usaha pertanian organik. Berbagai pembuat kebijakan memiliki sikap yang bervariasi mengenai kesejahteraan hewan, tetapi USDA secara umum tidak mengutamakan kesejahteraan hewan untuk memberi label produk organik.[33] Kuda dan sapi dapat menjadi hewan pekerja yang menyediakan tenaga untuk menggerakkan mesin, membajak, menambah kesuburan tanah dengan kotorannya, dan menjadi sumber bahan bakar (misal biogas).
Keekonomian[sunting | sunting sumber]


Keekonomian dari pertanian organik merupakan subbidang dari ekonomi pertanian yang mencakup seluruh jenis proses dan dampak dari pertanian organik terhadap masyarakat, terutama biaya sosial, biaya peluang, biaya tak terduga, asimetri informasi, ekonomi skala, dan sebagainya. Meski cakupan ekonomi begitu luas, pada ekonomi pertanian fokusnya ada pada maksimisasi hasil dan efisiensi pada tingkat lahan usaha tani. Ekonomi merupakan pendekatan antroposentrik terhadap nilai alam (misal keanekaragaman hayati). Beberapa lembaga dan pemerintahan memberikan subsidi kepada pertanian organik dalam skala besar karena manfaatnya yang begitu banyak pada lingkungan.[34]
Persebaran produsen[sunting | sunting sumber]

Pasar produk organik paling kuat berada di Amerika Utara dan Eropa, yang pada tahun 2001 diperkirakan telah menguasai antara US$ 6 hingga 8 miliar dari pangsa pasar global yang sebesar US$ 20 miliar.[35]:6 Australasia memiliki 39% pangsa lahan usaha tani organik di seluruh dunia, tetapi 97% dari lahan ini merupakan kawasan penggembalaan yang tidak menghasilkan bahan pangan secara langsung. Di sisi lain, Amerika Serikat, dengan lahan yang lebih sempit, memiliki tingkat penjualan 20 kali lebih banyak dibandingkan Australia.[35]:7 Lahan usaha tani organik di Eropa menguasai 23% dari lahan usaha tani organik dunia, diikuti Amerika Latin dengan 19%, Asia 9.5%, Amerika Utara 7.2%, dan Afrika 3%.[36]


Selain Australia, negara dengan lahan usaha tani organik terbesar adalah Argentina yang mencapai 3.1 juta hektare, China 2.3 juta hektare, dan Amerika Serikat 1.6 juta hektare. Kebanyakan lahan organik di Argentina adalah lahan penggembalaan seperti Australia. Brazil merupakan eksportir produk organik terbesar.


Di Uni Eropa pada tahun 2005, 3.9% dari total lahan pertanian merupakan lahan usaha tani organik. Negara di Uni Eropa dengan proporsi lahan terbesar adalah Austria 11%, Italia 8.4%, dan Republik Ceko dan Yunani (keduanya 7.2%). Yang paling sempit adalah Malta 0.15, Polandia 0.6% (168 ribu hektare),[37] dan Irlandia 0.8%.[38][39] Pada tahun 2009, proporsi lahan organik di Uni Eropa tumbuh hingga 4.7%.[40] Pada tahun 2010, 16% petani Austria bercocok tanam secara organik.[41]


Setelah keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991, input usaha pertanian (terutama pestisida dan pupuk sintetik) yang sebelumnya didatangkan dari negara Eropa TImur tidak lagi tersedia di Kuba. Banyak petani Kuba beralih menjadi petani organik karena keterpaksaan.[42] Sehingga pertanian organik menjadi cara yang utama dalam menghasilkan bahan pangan sampai sekarang.[43][44][45]
Pertumbuhan[sunting | sunting sumber]


Pada tahun 2001, diperkirakan nilai pasar produk organik bersertifikat di seluruh dunia adalah US$ 20 miliar. Pada tahun 2002, nilainya menjadi US$ 23 miliar dan pada tahun 2007 US$ 46 miliar. Pada tahun 2012, nilainya telah mencapai US$ 63 miliar.[46]


Eropa dan Amerika Utara mengalami peningkatan tertinggi dalam hal luas lahan.[46]:26 Antara tahun 2005 hingga 2008, Uni Eropa mengalami perluasan sebesar 21%.[47] Hal ini disebabkan pemberian subsidi pertanian di Uni Eropa yang beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik karena besarnya manfaat bagi lingkungan. Namun Amerika Serikat masih mensubsidi pertanian konvensional, terutama gula dan jagung.[48] Hal inilah yang menjadi pembeda antara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Secara persentase luas lahan pertanian total pada kedua wilayah tersebut, 4.6% di Uni Eropa adalah lahan pertanian organik sedangkan di Amerika Serikat hanya 0.6% dari total luas lahan pertaniannya.[49]
Produktivitas[sunting | sunting sumber]


Berbagai studi mengenai produktivitas pertanian organik beragam.[50]


Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 1990 dengan data dari 26 jenis hasil tanaman pertanian dan dua hasil peternakan pada ratusan lahan usaha tani menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan berarti secara statistik antara pertanian organik dan pertanian konvensional. Perbedaan berarti hanya ada pada produksi susu dan kacang-kacangan di mana pertanian organik lebih banyak menghasilkan dibandingkan pertanian konvensional.[51]


Sebuah survei di Amerika Serikat yang dipublikasikan pada tahun 2001 menganalisis 150 musim tanam serealia dan kacang kedelai dan mendapati bahwa pertanian organik menghasilkan antara 5% lebih sedikit hingga setara dibandingkan pertanian konvensional.[50]


Sebuah studi yang berlangsung selama dua dekade dan dipublikasikan pada tahun 2002 mendapatkan bahwa pertanian organik menghasilkan 20% lebih sedikit dibandingkan pertanian konvensional dengan menggunakan pupuk 50% lebih sedikit, pestisida 97% lebih sedikit, dan input energi 34-53% lebih sedikit.[21] Meski lebih sedikit menghasilkan, tetapi dengan input bahan kimia pertanian dan bahan bakar yang lebih sedikit, petani bisa mendapatkan menghasilkan keuntungan lebih banyak.


Sebuah studi pada tahun 2003 menemukan bahwa di musim kering, pertanian organik menghasilkan lebih banyak dibandingkan pertanian konvensional.[52][53] Pertanian organik juga mampu bertahan melawan gangguan cuaca seperti badai dan topan, lebih baik dibandingkan pertanian konvensional. Lapisan tanah atas pada pertanian organik tidak menghilang sebanyak pertanian konvensional ketika diterpa angin kencang.[54]


Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2005 membandingkan pertanian konvensional, pertanian organik berbasis hewan, dan pertanian organik berbasis legum pada Institut Rodale selama 22 tahun. Studi ini mendapati bahwa untuk penanaman jagung dan kedelai cenderung menghasilkan dalam jumlah yang setara di antara ketiganya, tetapi pertanian organik berbasis legum dan berbasis hewan membutuhkan energi fosil yang lebih sedikit secara signifikan. Dan pada pertanian organik, pestisida dan pupuk sintetik tidak digunakan sama sekali.[55][56][57]


Pada studi yang dilakukan pada tahun 2007 menggabungkan 293 penelitian yang telah dilakukan untuk menilai efisiensi secara keseluruhan antara kedua sistem pertanian dan menemukan bahwa metode organk dapat memproduksi bahan pangan yang mencukupi bagi populasi dunia untuk mendukung kelangsungan hidup manusia dengan kebutuhan lahan yang lebih sedikit. Para peneliti juga menemukan bahwa di negara maju meski pertanian organik menghasilkan 8% lebih sedikit dibandingkan pertanian konvensional, tetapi di negara miskin pertanian organik menghasilkan 80% lebih banyak dibandingkan pertanian konvensional. hal ini dikarenakan di negara miskin bahan-bahan organik untuk input usaha pertanian lebih mudah didapatkan dibandingkan akses menuju pestisida dan pupuk sintetik.[58] Namun studi ini ditantang kebenarannya dengan studi lain pada tahun 2008 yang menyatakan bahwa estimasi berlebihan pada pertanian organik dikarenakan misinterpretasi data dan kesalahan hitung.[59]


Sebuah studi pada tahun 1999 oleh Badang Perlindungan Lingkungan Denmark menemukan bahwa, pertanian organik menghasilkan kentang, bit gula, dan rumput lebih sedikit, hingga 50%-nya saja, dibandingkan pertanian konvensional.[60] Michael Pollan, pengarang dari The Omnivore's Dilemma, merespon publikasi ini dengan menyatakan bahwa hasil pertanian dunia rata-rata lebih rendah dibandingkan hasil pertanian berkelanjutan modern. Dengan menjadikan mayoritas usaha pertanian dunia berhaluan organik dapat meningkatkan hasil pangan dunia hingga 50% lebih banyak.[61]


Sebuah studi analisis yang diterbitkan tahun 2012 menyarankan agar petani mengambil langkah hibrid atau kombinasi antara pertanian organik dan konvensional demi memenuhi kebutuhan pangan manusia sambil menjaga kualitas lingkungan.[62][63]
Keuntungan[sunting | sunting sumber]


Pengurangan penggunaan pestisida dan pupuk sintetik disertai dengan harga premium bagi bahan pangan organik berkontribusi pada keuntungan petani yang lebih tinggi. Secara umum pertanian organik lebih menguntungkan dibandingkan pertanian konvensional. Tanpa harga premium, pertanian organik mendapatkan hasil yang beragam, ada yang untung dan ada yang rugi.[35]:11 Organic production was more profitable in Wisconsin, given price premiums.[64] Bagi pasar tradisional dan pasar modern, bahan pangan organik juga lebih menguntungkan dan umumnya dijual pada keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan bahan pangan non-organik.[65]


Meskipun pembeli membandingkan harga dan membeli secara sadar, bahan pangan organik tidak selalu lebih mahal dibandingkan bahan pangan non-organik. Seperti contoh pada tahun 2000, sebuah usaha restoran mengganti 85% bahan baku yang digunakannya ke organik tanpa meningkatkan harga bagi pembelinya. Pemilik restoran juga menyatakan bahwa sejak tahun 2000, harga bahan pangan organik telah turun dan saat ini tidak lagi menjadi masalah untuk mendapatkan bahan pangan organik dengan harga yang bersaing.[66][67]
Tenaga kerja[sunting | sunting sumber]


Sebuah surver yang dilakukan di Irlandia dan Britania Raya menemukan bahwa pertanian organik mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja dibandingkan pertanian konvensional. Perbedaan ini terlihat jelas pada ukuran lahan usaha tani yang lebih besar. Para peneliti menyimpulkan bahwa akan ada lapangan pekerjaan di bidang pertanian 19% lebih banyak di Inggris, dan 6% lebih banyak di Irlandia, jika 20% usaha pertanian di kedua negara menjadi usaha pertanian organik.[68]
Eksternalitas[sunting | sunting sumber]


Eksternalitas adalah biaya atau keuntungan yang harus ditanggung atau diterima oleh suatu pihak yang tidak menyebabkan terbentuknya biaya atau keuntungan tersebut. Dalam pertanian secara umum, eksternalitas yang terjadi pada masyarakat biasanya dikarenakan penggunaan sumber daya seperti air, hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya erosi, berpindahnya pajak masyarakat ke pertanian melalui subsidi pertanian, dan sebagainya. Eksternalitas positif misalnya terbentuknya kemandirian, terciptanya kewirausahaan dan lapangan kerja, dan mensupai bahan pangan lokal. Tidak terkecuali pada pertanian organik, ada eksternalitas secara positif dan negatifnya.[69]


Di Inggris pada tahun 2000, biaya eksternalitas negatif yang tidak terbayarkan mencapai 2343 juta pundsterling atau 208 poundsterling per hektare lahan pertanian.[70] Di Amerika Serikat, biaya eksternalitas negatif pada budi daya tanaman diperkirakan mencapai US$5 hingga 16 miliar atau US$30–96 per hektare, dan pada peternakan mencapau US$714 juta.[71]


Pertanian organik memiliki biaya eksternalitas negatif yang lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional.[72] Beberapa survey menemukan bahwa pertanian organik lebih sedikit merusak lingkungan karena tingkat kehilangan keanekaragaman hayati lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional, dan pertanian organik menggunakan lebih sedikit energi dan menghasilkan lebih sedikit limbah per unit luas lahan usaha tani.[73][74] Pada tahun 2003, Department for Environment Food and Rural Affairs di Inggris menemukan hasil yang serupa bahwa pertanian organik memiliki lebih banyak manfaat bagi lingkungan, tetapi manfaat itu dikatakan cenderung tidak berarti karena hasil pertaniannya yang lebih sedikit per luas lahan.[75]


Sebuah studi perbandingan yang dilakukan antara peternakan susu di Wisconsin dan Selandia Baru menemukan bahwa, dengan menggunakan jumlah emisi per kg susu yang dihasilkan, peternakan susu di Selandia Baru menghasilkan lebih banyak emisi gas metana dan di Wisconsin lebih banyak menghasilkan emisi gas karbon dioksida. Keduanya merupakan gas rumah kaca. Hal ini dikarenakan di Selandia Baru, sapi lebih banyak diberikan rumput dan hijauan, sedangkan di Wisconsin lebih banyak berupa konsentrat. Selulosa diubah menjadi asetat (CH3COO-) di dalam perut sapi dan dapat berubah menjadi gas metana. Pada pakan konsentrat, kandungan selulosa lebih rendah sehingga ion propanoat (CH3CH2COO-) lebih banyak dihasilkan dibandingkan asetat, sehingga emisi metana berkurang.[76][77]
Pestisida[sunting | sunting sumber]


Tidak seperti pertanian konvensional, pertanian organik menghindari penggunaan pestisida sintetik.[78] Beberapa jenis pestisida sintetik merusak lingkungan dan kesehatan manusia. Anak kecil memiliki risiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa jika terpapar secara langsung.[79]


Skenario Terbaru Masuk Sekolah: Bukan Juli, Tapi Awal 2021



Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menegaskan belum bisa memastikan kapan sektor pendidikan akan beroperasi secara optimal di tengah pandemi corona (Covid-19). Artinya, fasilitas pendidikan akan tetap tutup hingga waktu yang belum ditentukan.

Hal tersebut ditegaskan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy dalam sebuah diskusi, dikutip melalui laman resmi Kemenko PMK, Senin (1/6/2020).

"Dibandingkan sektor-sektor lain, kemungkinan sekolah adalah sektor yang paling terakhir," kata Muhadjir.



Muhadjir tak memungkiri bahwa berdasarkan skenario yang telah dirancang sebelumnya bahwa kemungkinan berbagai fasilitas pendidikan akan kembali beroperasi seperti sekolah maupun perguruan tinggi akan dibuka pada akhir tahun atau bahkan awal tahun baru. 

"Itu hanya ancar-ancar saja. Kalau menurut kalender itu pertengahan Juli. Tapi Kemenko PMK tidak merekomendasikan skenario masuk sekolah pada waktu tersebut," katanya.


Baca: 



Muhadjir menegaskan bahwa alasan pemerintah tak ingin tergesa-gesa dalam memutuskan kapan sekolah akan dibuka. Pemerintah masih mengkalkulasi dampak yang bisa ditimbulkan di tengah new normal. 

"Risikonya tidak bisa dihitung dengan mudah akibat dari pengurangan pembatasan atau pembukaan sekolah," ujarnya


Bapak-Ibu, Sekolah Disarankan Tutup Sampai Desember 2020



Foto: Sekolah di depok terapkan pencegahan virus corona. (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Seiring dengan rencana pelaksanaan tahun ajaran baru pada pertengahan Juli mendatang, Ketua Umum PP Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Aman Pulungan angkat bicara.

Aman mengatakan pendidikan merupakan hak anak. Namun di tengah pandemi Covid-19 yang masih melonjak sebaiknya proses belajar mengajar di sekolah ditunda kembali.

Dalam akun Instagramnya, dia menyebut bahwa pelonggaran pembatasan sosial berskala besar masih sangat berisiko. Ini dikhawatirkan menimbulkan makin melonjaknya jumlah kasus baru yang terjadi pada anak-anak.

"Dalam masa pandemi Covid-19 ini, pembatasan fisik merupakan syarat penting dalam upaya pencegahan penyakit. Dan saat ini pelonggaran pembatasan sosial berskala besar masih sangat berisiko menimbulkan makin melonjaknya jumlah kasus baru. Terlebih lagi menciptakan tindakan pencegahan infeksi itu masih sulit dilakukan ke anak-anak," ujar Aman.




Aman menganjurkan agar kegiatan belajar mengajar tetap dilaksanakan melalui skema pembelajaran jarak jauh (PJJ) baik secara dalam jaringan maupun luar jaringan.

Baca juga :


Serta meminta sekolah tidak dibuka setidaknya sampai bulan Desember 2020. Untuk kegiatan belajar dapat dipertimbangkan jika jumlah kasus COVID-19 telah menurun.

Menanti Keberlangsungan Pendidikan di Tengah Pandemi Covid-19

DUNIA Pendidikan dibuat galau dengan menunggu solusi pemerintah tentang keberlangsungan kegiatan belajar mengajar. Pemerintah belum bisa memastikan kapan sektor pendidikan kembali beroperasi secara optimal di tengah-tengah pandemi Covid-19. Fasilitas pendidikan masih akan ditutup untuk jangka waktu yang belum ditentukan. Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pembukaan sekolah dan meminta penerapan “new normal” sektor pendidikan dipersiapkan dengan matang tanpa terburu-buru. 

Berbeda dengan sektor umum lainnya, kenormalan baru di sektor pendidikan menjadi permasalahan tersendiri karena karakteristiknya yang berbeda. Masih menjadi pertanyaan,
apakah protokol kesehatan akan efektif dijalankan anak-anak di sekolah? Begitu pun kesiapan para siswa dan sekolah. Berbagai pihak meminta pemerintah untuk tidak gegabah memutuskan membuka kembali sekolah-sekolah di bawah protokol kenormalan baru. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan penerapan protokol new normal di sekolah akan terkendala karena yang dihadapi adalah anak-anak. Menurut Komisioner KPAI Retno Listyarti, akan sulit memantau anak-anak untuk tidak berkerumun atau untuk disiplin menggunakan masker. 

Kematian anak akibat Covid-19 Sementara itu, Ikatan Dokter Anak Anak Indonesia (IDAI) membantah asumsi bahwa kelompok usia anak tidak rentan Covid-19. Temuan IDAI menunjukkan bahwa angka kesakitan dan kematian anak akibat Covid-19 di Indonesia tergolong tinggi. Berdasarkan pelacakan IDAI terhadap kasus Covid-19 pada anak, jumlah PDP anak hingga 18 Mei 2020 mencapai 3.324. Sebanyak 129 anak berstatus PDP meninggal dunia. Lihat Foto Peta sebaran Covid-19 di Jakarta. Data diambil dari situs corona.jakarta.id pada 3 Juni 2020.(Situs Covid-19 Pemprov DKI Jakarta) Kasus positif pada anak yang terkonfirmasi tercatat 584, sebanyak 14 di antaranya meninggal dunia.