Pertanian organik
Sebuah tanda di luar kebun
apel bagian organik di
Pateros, Washington yang mengingatkan pekerja kebun untuk tidak menyemprotkan pestisida
Pertanian sayuran organik di Capay, California.
Pertanian organik adalah sistem budi daya pertanian yang mengandalkan bahan-bahan alami tanpa menggunakan
bahan kimia sintetis.
[1] Beberapa tanaman Indonesia yang berpotensi untuk dikembangkan dengan teknik tersebut adalah
padi,
hortikultura yang meliputi tanaman sayur, buah, bunga, dan tanaman obat (contohnya:
brokoli,
kubis merah,
jeruk, dll.), tanaman perkebunan (
kopi,
teh,
kelapa, dll.), dan
rempah-rempah.
[1] Pengolahan pertanian organik didasarkan pada prinsip
kesehatan,
ekologi,
keadilan, dan
perlindungan.
[2] Yang dimaksud dengan prinsip kesehatan dalam pertanian organik adalah kegiatan pertanian harus memperhatikan
kelestarian dan peningkatan kesehatan tanah, tanaman, hewan, bumi, dan manusia sebagai satu kesatuan karena semua komponen tersebut saling berhubungan dan tidak terpisahkan.
[2] Pertanian organik juga harus didasarkan pada
siklus dan
sistem ekologi kehidupan.
[2] Pertanian organik juga harus memperhatikan keadilan baik antarmanusia maupun dengan makhluk hidup lain di lingkungan.
[2] Untuk mencapai pertanian organik yang baik perlu dilakukan pengelolaan yang berhati-hati dan bertanggungjawab melindungi kesehatan dan kesejahteraan manusia baik pada masa kini maupun pada masa depan.
[2]
Pertanian tradisional dalam berbagai bentuk, yang telah dilakukan sejak ribuan tahun di seluruh dunia, merupakan pertanian organik yang tidak menggunakan bahan kimia sintetik. Pertanian dengan memanfaatkan
ekologi hutan (
kebun hutan, forest gardening) merupakan salah satu sistem produksi pangan pada masa
prasejarah yang dipercayai merupakan pemanfaatan
ekosistem pertanian yang pertama.
[3]
Pupuk sintetis telah dibuat pada abad ke 18, berupa
superfosfat. Lalu pupuk berbahan dasar
amonia mulai diproduksi secara massal ketika
proses Haber dikembangkan semasa
Perang Dunia I. Pupuk ini murah, bernutrisi, dan mudah ditransportasikan dalam bentuk curah. Perkembangan juga terjadi pada
pestisida kimia pada tahun 1940an, yang memicu penggunaan
bahan kimia pertanian secara besar-besaran di seluruh dunia.
[4] Namun sistem pertanian baru yang mulai berkembang ini membawa dampak serius secara jangka panjang pada pemadatan tanah, erosi, penurunan kesuburan tanah secara keseluruhan, juga dampak kesehatan pada manusia akibat bahan kimia beracun yang masuk ke bahan pangan.
[5]:10
Pada tahun 1930an dan awal 1940an, pakar
botani terkemuka
Sir Albert Howard dan istrinya
Gabriel Howard mengembangkan pertanian organik. Howard terinspirasi dari pengalaman mereka mengenai metode pertanian tradisional di India, pengetahuan mereka mengenai biodinamika, dan latar belakang pendidikan mereka.
[6] Sir Albert Howard dapat dikatakan sebagai "bapak pertanian organik" karena ia yang pertama kali menerapkan prinsip ilmiah pada berbagai metode pertanian tradisional dan alami.
[13]:45
Meningkatnya kesadaran lingkungan secara umum pada populasi manusia pada masa modern telah mengubah gerakan organik yang awalnya dikendalikan oleh suplai, kini dikendalikan oleh permintaan pasar. Harga yang tinggi dan
subsidi dari pemerintah menarik perhatian petani. Di negara berkembang, berbagai produsen pertanian yang bekerja dengan prinsip tradisional dapat dikatakan setara dengan pertanian organik namun tidak bersertifikat dan tidak mengikuti perkembangan ilmiah dalam pertanian organik. Sehingga beberapa petani tradisional dapat berpindah menjadi petani organik dengan mudah, yang terdorong oleh alasan ekonomi.
[14]
Pertanian organik mengkombinasikan pengetahuan ilmiah mengenai
ekologi dan
teknologi modern mengenai praktik
pertanian tradisional berdasarkan proses biologis yang terjadi secara alami. Metode pertanian organik dipelajari di dalam bidang
ekologi pertanian. Pertanian konvensional menggunakan pestisida dan pupuk sintetik, sedangkan pertanian organik membatasinya dengan hanya menggunakan pestisida dan pupuk alami. Prinsip metode pertanian organik mencakup
rotasi tanaman,
pupuk hijau/
kompos,
pengendalian hama biologis, dan
pengolahan tanah secara mekanis. Pertanian organik memanfaatkan proses alami di dalam lingkungan untuk mendukung produktivitas pertanian, seperti pemanfaatan legum untuk
mengikat nitrogen ke dalam tanah, memanfaatkan
predator untuk menaggulangi hama, rotasi tanaman untuk mengembalikan kondisi tanah dan mencegah penumpukan hama, penggunaan
mulsa untuk mengendalikan hama dan penyakit, dan pemanfaatan bahan alami, termasuk mineral bahan tambang yang tidak diproses atau diproses secara minimal, sebagai pupuk, pestisida, dan pengkondisian tanah.
[15] Tanaman yang lebih unggul dan tangguh dikembangkan melalui
pemuliaan tanaman dan tidak dimodifikasi menggunakan
rekayasa genetika.
Tingginya
keanekaragaman tanaman pertanian adalah salah satu penciri pertanian organik. Pertanian konvensional fokus pada
produksi massal hasil pertanian tunggal di lahan, yang disebut dengan
monokultur. Dalam
ekologi pertanian diketahui bahwa
polikultur (penanaman berbagai jenis tanaman pada satu ahan) lebih menguntungkan dan lebih sering diterapkan di pertanian organik.
[16] Penanaman berbagai jenis sayuran mendukung berbagai jenis serangga yang bersifat menguntungkan, mikroorganisme tanah, dan faktor lainnya yang menambah kesehatan lahan pertanian. Keanekaragaman tanaman pertanian membantu lingkungan untuk mempertahankan suatu spesies yang dekat dengan lahan pertanian agar tidak punah.
[17]
Pertanian organik bergantung sepenuhnya pada dekomposisi bahan organik tanah, menggunakan berbagai teknik seperti
pupuk hijau dan
kompos untuk menggantikan nutrisi yang hilang dari tanah oleh tanaman pertanian sebelumnya. Proses biologis ini dikendalikan oleh berbagai mikroorganisme seperti
mikoriza yang memungkinkan terjadinya produksi nutrisi secara alami di dalam tanah sepanjang musim tanam. Pertanian organik mendayagunakan berbagai metode untuk meningkatkan
kesuburan tanah, termasuk rotasi tanaman, pemanfaatan tanaman penutup, pengolahan tanah tereduksi, dan penerapan kompos. Dengan mengurangi
pengolahan tanah, maka tanah tidak dibalik dan tidak terpapar oleh udara. Hal ini berarti nutrisi yang bersifat mudah menguap seperti nitrogen dan karbon semakin sedikit yang menghilang.
Tumbuhan membutuhkan berbagai nutrisi seperti
nitrogen,
fosfor, dan
nutrisi mikro lainnya serta hubungan
simbiosis dengan
fungi dan organisme lainnya untuk berkembang dengan baik. Sinkronisasi diperlukan agar tumbuhan mendapatkan nitrogen yang cukup pada waktu yang tepat. Hal ini menjadi salah satu tantangan di dalam pertanian organik.
[18] Residu tanaman dapat dikembalikan ke tanah sehingga membusuk dan memberikan nutrisi bagi tanah.
[18] Dalam banyak kasus, pengaturan
pH diperlukan dengan menggunakan
kapur pertanian dan
sulfur.
[19]:43
Lahan usaha tani yang tidak memiliki usaha peternakan di dalamnya mungkin akan lebih sulit dalam mengembalikan kesuburan tanah dan membutuhkan input
kotoran dari luar untuk digunakan sebagai sumber nitrogen yang baik. Namun nitrogen juga dapat diberikan dengan menggunakan
legum sebagai tanaman penutup tanah.
[18]
Penelitian dalam ilmu biologi pada tanah dan mikroorganisme yang hidup di dalamnya telah membuktikan manfaat bagi pertanian organik. Berbagai jenis bakteri dan fungi memecah bahan kimia, residu tanaman, dan kotoran hewan menjadi nutrisi yang dapat diserap oleh tumbuhan, sehingga tanaman pertanian menjadi produktif.
[20][21]
Pengelolaan
gulma secara organik bersifat menekan, bukan memberantas gulma, dengan meningkatkan kompetisi dan mendayagunakan sifat
fitotoksik tanaman.
[22] Pertanian organik mengintegrasikan strategi budaya, biologi, mekanis, fisik, dan kimiawi untuk mengelola gulma tanpa menggunakan
herbisida sintetik.
Berbagai standar organik membutuhkan
rotasi tanaman dari tanaman semusim,
[23] yang berarti satu jenis tanaman tidak bisa ditumbuhkan di lokasi yang sama tanpa tumbuhan antara yang berbeda jenisnya. Rotasi tanaman secara organik mencakup tanaman penutup yang menekan pertumbuhan gulma dan tanaman dengan siklus hidup yang tidak sama untuk menekan pertumbuhan gulma yang hanya menyerang jenis tanaman tertentu.
[22] Berbagai penelitian dikerjakan untuk mengembangkan metode organik untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme yang secara alami menekan pertumbuhan atau perkecambahan gulma.
[24] Metode lainnya yaitu meningkatkan tingkat kompetisi tanaman pertanian untuk menekan pertumbuhan gulma dengan berbagai cara seperti mengatur tingkat kepadatan penanaman, mengatur jumlah varietas tanaman yang ditanam, dan mengatur periode penanaman.
[22]
Pengendalian gulma secara mekanis dan fisik dapat dilakukan dengan:
[25]
Pengolahan tanah - membalik tanah di atara tanaman untuk menempatkan residu tanaman dan gulma ke dalam tanah.
Memberikan panas ke tanah
Namun metode pengolahan tanah dikritik sebagian kalangan karena dapat menyebabkan erosi.
[27][28] FAO dan berbagai organisasi mempromosikan pendekatan pertanian tanpa pengolahan tanah (no till farming) dan menekankan pada rotasi tanaman.
[28][29] Sebuah studi menunjukan bahwa rotasi tanaman dan pemanfaatan tanaman penutup tanah mampu mengurangi erosi tanah, mengendalikan hama, dan menekan penggunaan pestisida secara signifikan.
[30] Beberapa bahan kimia yang tersedia secara alami dapat digunakan sebagai herbisida (
bioherbisida), seperti
asam asetat,
tepung gluten jagung, dan
minyak atsiri. Bioherbisida yang berbasis fungi patogen yang menjadi parasit bagi gulma, juga telah dikembangkan.
[25]
Usaha pemeliharaan hewan ternak yang menghasilkan
daging,
susu, dan
telur secara organik dapat menjadi pelengkap bagi usaha pertanian organik. Berbagai pembuat kebijakan memiliki sikap yang bervariasi mengenai
kesejahteraan hewan, tetapi
USDA secara umum tidak mengutamakan kesejahteraan hewan untuk memberi label produk organik.
[33] Kuda dan
sapi dapat menjadi
hewan pekerja yang menyediakan tenaga untuk menggerakkan mesin, membajak, menambah kesuburan tanah dengan kotorannya, dan menjadi sumber bahan bakar (misal
biogas).
Pasar produk organik paling kuat berada di
Amerika Utara dan
Eropa, yang pada tahun 2001 diperkirakan telah menguasai antara US$ 6 hingga 8 miliar dari pangsa pasar global yang sebesar US$ 20 miliar.
[35]:6
Australasia memiliki 39% pangsa lahan usaha tani organik di seluruh dunia, tetapi 97% dari lahan ini merupakan kawasan penggembalaan yang tidak menghasilkan bahan pangan secara langsung. Di sisi lain, Amerika Serikat, dengan lahan yang lebih sempit, memiliki tingkat penjualan 20 kali lebih banyak dibandingkan Australia.
[35]:7 Lahan usaha tani organik di Eropa menguasai 23% dari lahan usaha tani organik dunia, diikuti Amerika Latin dengan 19%, Asia 9.5%, Amerika Utara 7.2%, dan Afrika 3%.
[36]
Selain Australia, negara dengan lahan usaha tani organik terbesar adalah Argentina yang mencapai 3.1 juta hektare, China 2.3 juta hektare, dan Amerika Serikat 1.6 juta hektare. Kebanyakan lahan organik di Argentina adalah lahan penggembalaan seperti Australia. Brazil merupakan eksportir produk organik terbesar.
Di Uni Eropa pada tahun 2005, 3.9% dari total lahan pertanian merupakan lahan usaha tani organik. Negara di Uni Eropa dengan proporsi lahan terbesar adalah
Austria 11%,
Italia 8.4%, dan
Republik Ceko dan
Yunani (keduanya 7.2%). Yang paling sempit adalah
Malta 0.15,
Polandia 0.6% (168 ribu hektare),
[37] dan
Irlandia 0.8%.
[38][39] Pada tahun 2009, proporsi lahan organik di Uni Eropa tumbuh hingga 4.7%.
[40] Pada tahun 2010, 16% petani Austria bercocok tanam secara organik.
[41]
Setelah
keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1991, input usaha pertanian (terutama pestisida dan pupuk sintetik) yang sebelumnya didatangkan dari negara Eropa TImur tidak lagi tersedia di
Kuba. Banyak petani Kuba beralih menjadi petani organik karena keterpaksaan.
[42] Sehingga pertanian organik menjadi cara yang utama dalam menghasilkan bahan pangan sampai sekarang.
[43][44][45]
Pada tahun 2001, diperkirakan nilai pasar produk organik bersertifikat di seluruh dunia adalah US$ 20 miliar. Pada tahun 2002, nilainya menjadi US$ 23 miliar dan pada tahun 2007 US$ 46 miliar. Pada tahun 2012, nilainya telah mencapai US$ 63 miliar.
[46]
Eropa dan Amerika Utara mengalami peningkatan tertinggi dalam hal luas lahan.
[46]:26 Antara tahun 2005 hingga 2008, Uni Eropa mengalami perluasan sebesar 21%.
[47] Hal ini disebabkan pemberian
subsidi pertanian di Uni Eropa yang beralih dari pertanian konvensional ke pertanian organik karena besarnya manfaat bagi lingkungan. Namun Amerika Serikat masih mensubsidi pertanian konvensional, terutama gula dan jagung.
[48] Hal inilah yang menjadi pembeda antara Uni Eropa dan Amerika Serikat. Secara persentase luas lahan pertanian total pada kedua wilayah tersebut, 4.6% di Uni Eropa adalah lahan pertanian organik sedangkan di Amerika Serikat hanya 0.6% dari total luas lahan pertaniannya.
[49]
Berbagai studi mengenai produktivitas pertanian organik beragam.
[50]
Sebuah studi yang dilakukan pada tahun 1990 dengan data dari 26 jenis hasil tanaman pertanian dan dua
hasil peternakan pada ratusan
lahan usaha tani menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan berarti secara statistik antara pertanian organik dan pertanian konvensional. Perbedaan berarti hanya ada pada produksi
susu dan
kacang-kacangan di mana pertanian organik lebih banyak menghasilkan dibandingkan pertanian konvensional.
[51]
Sebuah survei di Amerika Serikat yang dipublikasikan pada tahun 2001 menganalisis 150 musim tanam serealia dan kacang kedelai dan mendapati bahwa pertanian organik menghasilkan antara 5% lebih sedikit hingga setara dibandingkan pertanian konvensional.
[50]
Sebuah studi yang berlangsung selama dua dekade dan dipublikasikan pada tahun 2002 mendapatkan bahwa pertanian organik menghasilkan 20% lebih sedikit dibandingkan pertanian konvensional dengan menggunakan pupuk 50% lebih sedikit, pestisida 97% lebih sedikit, dan input energi 34-53% lebih sedikit.
[21] Meski lebih sedikit menghasilkan, tetapi dengan input bahan kimia pertanian dan bahan bakar yang lebih sedikit, petani bisa mendapatkan menghasilkan keuntungan lebih banyak.
Sebuah studi pada tahun 2003 menemukan bahwa di musim kering, pertanian organik menghasilkan lebih banyak dibandingkan pertanian konvensional.
[52][53] Pertanian organik juga mampu bertahan melawan gangguan cuaca seperti
badai dan
topan, lebih baik dibandingkan pertanian konvensional. Lapisan tanah atas pada pertanian organik tidak menghilang sebanyak pertanian konvensional ketika diterpa angin kencang.
[54]
Sebuah studi yang diterbitkan pada tahun 2005 membandingkan pertanian konvensional, pertanian organik berbasis hewan, dan pertanian organik berbasis legum pada
Institut Rodale selama 22 tahun. Studi ini mendapati bahwa untuk penanaman
jagung dan
kedelai cenderung menghasilkan dalam jumlah yang setara di antara ketiganya, tetapi pertanian organik berbasis legum dan berbasis hewan membutuhkan energi fosil yang lebih sedikit secara signifikan. Dan pada pertanian organik, pestisida dan pupuk sintetik tidak digunakan sama sekali.
[55][56][57]
Pada studi yang dilakukan pada tahun 2007 menggabungkan 293 penelitian yang telah dilakukan untuk menilai efisiensi secara keseluruhan antara kedua sistem pertanian dan menemukan bahwa metode organk dapat memproduksi bahan pangan yang mencukupi bagi populasi dunia untuk mendukung kelangsungan hidup manusia dengan kebutuhan lahan yang lebih sedikit. Para peneliti juga menemukan bahwa di negara maju meski pertanian organik menghasilkan 8% lebih sedikit dibandingkan pertanian konvensional, tetapi di negara miskin pertanian organik menghasilkan 80% lebih banyak dibandingkan pertanian konvensional. hal ini dikarenakan di negara miskin bahan-bahan organik untuk input usaha pertanian lebih mudah didapatkan dibandingkan akses menuju pestisida dan pupuk sintetik.
[58] Namun studi ini ditantang kebenarannya dengan studi lain pada tahun 2008 yang menyatakan bahwa estimasi berlebihan pada pertanian organik dikarenakan misinterpretasi data dan kesalahan hitung.
[59]
Sebuah studi pada tahun 1999 oleh Badang Perlindungan Lingkungan Denmark menemukan bahwa, pertanian organik menghasilkan
kentang,
bit gula, dan rumput lebih sedikit, hingga 50%-nya saja, dibandingkan pertanian konvensional.
[60] Michael Pollan, pengarang dari
The Omnivore's Dilemma, merespon publikasi ini dengan menyatakan bahwa hasil pertanian dunia rata-rata lebih rendah dibandingkan hasil
pertanian berkelanjutan modern. Dengan menjadikan mayoritas usaha pertanian dunia berhaluan organik dapat meningkatkan hasil pangan dunia hingga 50% lebih banyak.
[61]
Sebuah studi analisis yang diterbitkan tahun 2012 menyarankan agar petani mengambil langkah hibrid atau kombinasi antara pertanian organik dan konvensional demi memenuhi kebutuhan pangan manusia sambil menjaga kualitas lingkungan.
[62][63]
Pengurangan penggunaan pestisida dan pupuk sintetik disertai dengan harga premium bagi bahan pangan organik berkontribusi pada keuntungan petani yang lebih tinggi. Secara umum pertanian organik lebih menguntungkan dibandingkan pertanian konvensional. Tanpa harga premium, pertanian organik mendapatkan hasil yang beragam, ada yang untung dan ada yang rugi.
[35]:11 Organic production was more profitable in Wisconsin, given price premiums.
[64] Bagi pasar tradisional dan pasar modern, bahan pangan organik juga lebih menguntungkan dan umumnya dijual pada keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan bahan pangan non-organik.
[65]
Meskipun pembeli membandingkan harga dan membeli secara sadar, bahan pangan organik tidak selalu lebih mahal dibandingkan bahan pangan non-organik. Seperti contoh pada tahun 2000, sebuah usaha
restoran mengganti 85% bahan baku yang digunakannya ke organik tanpa meningkatkan harga bagi pembelinya. Pemilik restoran juga menyatakan bahwa sejak tahun 2000, harga bahan pangan organik telah turun dan saat ini tidak lagi menjadi masalah untuk mendapatkan bahan pangan organik dengan harga yang bersaing.
[66][67]
Sebuah surver yang dilakukan di
Irlandia dan
Britania Raya menemukan bahwa pertanian organik mempekerjakan lebih banyak tenaga kerja dibandingkan pertanian konvensional. Perbedaan ini terlihat jelas pada ukuran lahan usaha tani yang lebih besar. Para peneliti menyimpulkan bahwa akan ada lapangan pekerjaan di bidang pertanian 19% lebih banyak di Inggris, dan 6% lebih banyak di Irlandia, jika 20% usaha pertanian di kedua negara menjadi usaha pertanian organik.
[68]
Eksternalitas adalah biaya atau keuntungan yang harus ditanggung atau diterima oleh suatu pihak yang tidak menyebabkan terbentuknya biaya atau keuntungan tersebut. Dalam pertanian secara umum, eksternalitas yang terjadi pada masyarakat biasanya dikarenakan penggunaan sumber daya seperti air, hilangnya
keanekaragaman hayati, terjadinya
erosi, berpindahnya pajak masyarakat ke pertanian melalui
subsidi pertanian, dan sebagainya. Eksternalitas positif misalnya terbentuknya kemandirian, terciptanya kewirausahaan dan lapangan kerja, dan mensupai bahan pangan lokal. Tidak terkecuali pada pertanian organik, ada eksternalitas secara positif dan negatifnya.
[69]
Di Inggris pada tahun 2000, biaya eksternalitas negatif yang tidak terbayarkan mencapai 2343 juta pundsterling atau 208 poundsterling per hektare lahan pertanian.
[70] Di Amerika Serikat, biaya eksternalitas negatif pada budi daya tanaman diperkirakan mencapai US$5 hingga 16 miliar atau US$30–96 per hektare, dan pada peternakan mencapau US$714 juta.
[71]
Pertanian organik memiliki biaya eksternalitas negatif yang lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional.
[72] Beberapa survey menemukan bahwa pertanian organik lebih sedikit merusak lingkungan karena tingkat kehilangan keanekaragaman hayati lebih rendah dibandingkan pertanian konvensional, dan pertanian organik menggunakan lebih sedikit energi dan menghasilkan lebih sedikit limbah per unit luas lahan usaha tani.
[73][74] Pada tahun 2003, Department for Environment Food and Rural Affairs di Inggris menemukan hasil yang serupa bahwa pertanian organik memiliki lebih banyak manfaat bagi lingkungan, tetapi manfaat itu dikatakan cenderung tidak berarti karena hasil pertaniannya yang lebih sedikit per luas lahan.
[75]
Sebuah studi perbandingan yang dilakukan antara
peternakan susu di Wisconsin dan Selandia Baru menemukan bahwa, dengan menggunakan jumlah emisi per kg susu yang dihasilkan, peternakan susu di Selandia Baru menghasilkan lebih banyak emisi gas
metana dan di Wisconsin lebih banyak menghasilkan emisi gas
karbon dioksida. Keduanya merupakan
gas rumah kaca. Hal ini dikarenakan di Selandia Baru, sapi lebih banyak diberikan rumput dan
hijauan, sedangkan di Wisconsin lebih banyak berupa konsentrat. Selulosa diubah menjadi
asetat (CH3COO-) di dalam perut sapi dan dapat berubah menjadi gas metana. Pada pakan konsentrat, kandungan selulosa lebih rendah sehingga ion
propanoat (CH3CH2COO-) lebih banyak dihasilkan dibandingkan asetat, sehingga emisi metana berkurang.
[76][77]
Tidak seperti pertanian konvensional, pertanian organik menghindari penggunaan pestisida sintetik.
[78] Beberapa jenis
pestisida sintetik merusak lingkungan dan kesehatan manusia. Anak kecil memiliki risiko kesehatan yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa jika terpapar secara langsung.
[79]